Saturday, 29 January 2011

Sepotong Cerita (part 1)

Tidak seperti biasanya, siang ini terasa sangat berbeda. Hujan yang mengguyur Singapura seharian sejak pagi tadi membuat udara terasa dingin. Matahari pun enggan bangun dan bersinar, seperti aku yang masih malas-malasan berbaring di tempat tidur dengan ditemani oleh laptop di perutku, serta secangkir kopi yang sudah mulai mendingin di meja belajar.


Mendadak kurasakan ruang kamarku seperti membesar. Sebegitu besarnya, hingga aku hanya seperti makhluk kecil yang sendirian, kecil dan tak berarti. Aku ingin banyak orang datang, riuh, gaduh, ramai dan penuh sesak.

Ku ambil Handphone yang ternyata terselip di bawah bantal tempat kepalaku tergolek. Ku buka satu persatu kontak, kucari-cari kawan untuk ku telepon. Satu demi satu ku panggil nomor-nomor itu, namun tak satupun yang menjawab. Hm, mungkin mereka masih lelap tertidur setelah party semalam.

Sampai pada nama istriku di Yogya, dadaku pun berdetak lebih kencang. Segera ku sentuh tombol panggil untuk meneleponnya, namun belum sampai ku tekan, niat itu pun kuurungkan, setelah ingat bahwa pulsa internasionalku telah habis. “Agaknya aku harus keluar untuk membeli pulsa sekarang”. Lalu ku buka jendela, mencoba mendengar dan mengukur hujan di luar sana. “ah, masih cukup deras”, kataku kecewa dalam hati.

Ku telan beberapa teguk kopi yang sudah mendingin hampir seperti es, mencoba mengusir sepi. Ku nyalakan musik beberapa lagu kesukaanku, namun segera kumatikan kembali. Melodi dan instrumen itu tidak terasa indah, bahkan seperti suara-suara berisik yang mengusikku. Lalu ku ajak otakku untuk mengusir sepi itu dengan membaca beberapa chapters yang harus ku presentasikan minggu depan. Halaman demi halaman ku buka dan ku baca, namun sepertinya tak ada satu huruf pun yang dapat ku serap. “oh God, what is happening to my mind?”.

Ku putuskan untuk menutup file-file PDF yang telah kubuka, dan beralih ke surat kabar online dan jejaring sosial. Lagi-lagi tak kutemukan satupun yang menarik disana. Semuanya seperti tidak enak dibaca. Otakku sama sekali tak mau berkompromi dengan apapun yang ku lakukan sekarang. “Apa sih yang kau mau?”, gumamku pada diriku sendiri.

Beberapa saat berpindah dari satu aktifitas ke aktifitas lainnya membuatku lelah, dan kini aku ingin mengikuti saja kemana pikiranku membawaku. Ku baringkan tubuhku di kasur yang semakin terasa melebar.

Lamunanku melayang pada tujuh bulan lalu, ketika pertama kali aku berangkat, meninggalkan istri dan anak-anakku untuk mengambil studi di sini. Teringat ketika sore sebelum keberangkatanku, anak pertamaku (Caca) mengajak kami (aku dan istriku) untuk makan malam di luar. Sungguh sebuah makan malam yang istimewa, bukan karena tempatnya, melainkan karena itu adalah makan malam bersama kami sebelum nantinya kami akan terpisah untuk beberapa waktu yang bagiku cukup lama.

“Yah, aku mau makan es krim boleh kan?” Rayu Caca sambil menggelayut manja di pundakku. “Boleh, tapi dibagi sama bunda ya..”, jawabku pelan. Sebenarnya aku agak keberatan dengan permintaannya itu, karena sebenarnya cuaca waktu itu tidak terlalu baik, dan Caca sangat sensitif dengan dingin. Tapi karena aku tidak ingin membuatnya kecewa di saat-saat terakhir kami bersama sebelum perpisahan yang akan cukup lama itu, aku pun mengijinkannya. Sebenarnya anak pertamaku ini sangat penurut, meski terkadang dia agak keras dan pembantah. Itu sebabnya, setelah beberapa sendok dia memakan es krim yang dia pesan sendiri, sisanya pun diberikannya kepada istriku yang memang sama-sama gemar makan es krim itu.

Agaknya Caca sangat menikmati makan malam itu. Memang dari awal dia sendiri yang memilih tempat itu, bahkan dia memesan sendiri makanan dan minuman untuknya, hal yang tidak biasanya dia lakukan sendiri. Sayang, Tata, anak kami yang ke dua tidak ikut serta. Sudah sejak 1 minggu yang lalu, Asih istriku mengantarkannya ke rumah eyangnya di Banyumas. Sengaja kami menitipkan Tata disana untuk beberapa saat karena Asih akan mengantarkanku ke Singapura dan menemani selama kira-kira 2 minggu. Selama itu pula, kami telah memutuskan untuk menitipkan Caca di rumah Mamaknya, orang yang telah mengasuhnya semenjak bayi.

“Ayaah, kenapa Caca & Bunda tidak ikut saja sama Ayah sekolah seperti pas di Inggeris dulu?”, katanya sambil menghabiskan makanannya. “Tidak sayang, soalnya kan kita tidak disediakan rumah disana, lagian Singapura kan dekat jadi Ayah pasti akan sering pulang pas liburan. Nanti kapan-kapan boleh deh kakak ayah ajak kesana untuk liburan. Kakak baik-baik di rumah sama Bunda & dedek Tata ya?”, kataku pelan sambil mengelus rambut anakku yang saat itu berusia hampir 5 tahun. Bagiku dia memang anak yang cukup pintar, meski secara akademik tak cukup menonjol, tapi kata-katanya selalu beralasan dan cukup membuat aku dan istriku kesulitan untuk memberikan jawaban kadang-kadang.

Makan malam itu pun berlalu begitu cepat, hingga akhirnya kami pulang ke rumah dan melewatkan malam menunggu pagi, ssaat kami harus berangkat. Begitu cepat malam itu berlalu, hingga pagi harinya, saatnya kami harus berangkat, dan Caca yang saat itu belum bangun harus kami antar ke rumah Mamaknya. Sampai saat aku berpamitan, dia pun tak terbangun, ketika ku cium pipi dan keningnya beberapa kali sambil ku bisikkan pesan “Nak, baik-baik ya. Ayah selalu berdoa buat kalian semua dan pasti segera pulang dan berkumpul dengan semuanya”. Tak bisa berlama-lama lagi, kami pun segera bergegas menuju taksi yang sudah menunggu untuk membawa kami ke bandara.

No comments: